Hati Putih Bertepi Merah, Kita Atau Orang Lain Yang Membatasi? Tela'ah Linguistik Pandhita SH Terate.
Jurnalterate.com - Sebagai makhluk sosial, tentu kita sering mendengar keluh kesah seseorang dalam menghadapi kesulitan, sontak hanya kata "Sabar" yang bisa diucapkan. Menerima kenyataan dengan ikhlas dan selalu berpikir tenang merupakan sebuah kunci dalam menghadapi suatu keadaan yang tidak dimiliki semua orang. Terlebih bersinggungan dengan hakikat menjalankan atau "Tirakat Laku" sabar itu sendiri tidaklah mudah.
"Saya sudah besabar mengahadapi masalah ini, namun sabar itu kan ada batasnya. Kalau akhirnya seperti ini saya tidak bisa terima."
Itulah sepotong kalimat yang sering terlontar ketika merasa ujian telah mencapai batas akhir.
● Apakah benar sabar itu ada batasnya?
Sedikit menengok masa kepemimpinan ketua umum pusat SH Terate tahun 20-an Mendiang Pandhito Kangmas Tarmadji Boedi Harsono dalam menghadapi orang-orang di zamannya. Tentunya terdapat kasus yang sama (menguji kesabaran) meskipun berbeda konteksnya. Secara tidak sadar, sabar dituntut untuk memiliki batas. Segala ujian dan tantangan kehidupan pasti memiliki ujung, begitu lah yang dituntut dari sebuah kesabaran.
Sabar adalah sabar. Jika masih menuntut batas tertentu, maka belum bisa dikatakan sabar. Hakikatnya, tugas manusia selalu belajar sabar atas segala sesuatu yang telah digariskan oleh sang pencipta. Sebagaimana terkait kerelaan atas seluruh kejadian baik ataupun tidak.
Semua manusia telah di pastikan mendapatkan ujian yang memiliki latar belakang berbeda. Diikuti dengan tuntutan untuk mencapai titik sabar yang sebenarnya. Hingga pada akhirnya akan membuat kita belajar mengenal sabar lebih dalam dan mencapai tingkat berikutnya.
Seberat apapun ujian yang diberikan, sebisa mungkin untuk sabar dan jangan merasa geram apalagi dendam dengan menyalahkan sesuatu yang telah allah utus menjadi media penguji kesabaran. Sebenarnya sabar tidak ada batasnya, manusialah yang membuat batasan itu sendiri. Batas kesabaran bukan berarti ketika diminta meluapkan emosi, amarah, dan hilang kontrol diri.
● Diam merupakan output batas sabar.
Berusaha tetap tenang, nyaman dan menjaga kontrol diri saat menerima kenyataan pahit yang mendalam bukan berarti kalah ataupun lemah. Di balik sikap diam karena terluka, harus diimbangi dengan pikiran positif dan fokus. Saran merenungkan apa yang telah terjadi bisa menjadi obat tersendiri untuk menutup luka sehingga tidak lagi menganga.
Jadikan sebuah luka sebagai pelajaran berharga dan sebagai acuan untuk tidak mengulangnya. Menjadi pribadi yang sabar dan tidak mudah tersulut api emosi, pasti ketenangan dan kebahagiaan akan terjamin. Hakikatnya tujuan manusia hidup hanya demi kebahgiaan. Itulah sebabnya Mendiang Pandhita Kangmas Tarmadji Boedi Harsono sering menjawab suatu permasalahan dengan seklumit kata bahasa jawa "Teko di esemi wae (cukup di senyumi saja)".